Kerajaan Minangkabau diperkirakan berdiri sekitar abad ke-7 masehi. Letaknya berada di sekitar lembah sungai Kampar dan Batanghari. Dari sanalah kemudian kita menyebutnya sebagai Kerajaan Minangkabau Timur. Pada pertengahan abad ke-14 M, Kerajaan Minangkabau berpusat di Pagaruyung Luhak Tanah Datar. Kerajaan ini hidup sampai permulaan abad ke-19 M. Lalu pada pertengahan abad ke-14, Datuk Katumanggungan memegang tampuk kekuasaan wilayah Minangkabau.
Pada era itulah Adityawarman datang dari Majapahit, Jawa. Ibu Adityawarman adalah seorang wanita yang berasal dari Minangkabau. Dia kemudian dinobatkan menjadi Raja di Pagaruyung pada 1349. Tapi kerajaan Minangkabau Pagaruyung ini pada hakekatnya hanya bertahan sampai 1809. Penyebabnya ketika itu Sultan Muningsyah I meninggalkan istana. Raja-raja yang bertahta sesudahnya di Pagaruyung adalah Sultan Muningsyah II dan Muningsyah III serta Puti Reno Sumpur. Tetapi kekuasaan masing-masing Sultan dan Puti ini tidak begitu besar lagi.
Puti Reno Sumpur lahir di Sumpur Kudus, tempat kedudukan resmi Rajo Ibadat, pada tahun 1816, dan wafat di Pagaruyung pada tahun 1912 dalam usia 96 tahun. Dari pihak ibu ia adalah keturunan Rajo Ibadat Sumpur Kudus. Sedangkan dari pihak bapak ia adalah keturunan seorang Rajo Adat di Buo. Dengan demikian, ia merupakan salah seorang keturunan asli dari raja-raja di Minangkabau.
Sebagai keluarga istana, ia berdaulat di daerah Singingi dan Gunung Sahilan. Setelah Sultan Muningsyah II yang bergelar Sultan Alam Bagagarsyah dibuang Belanda ke Betawi tahun 1833 tidak ada lagi raja bertahta di Pagaruyung. Barulah pada akhir abad ke-19, Puti Reno Sumpur dijemput ke Gunung Sahilan dan didudukkan kembali di Istana Balai Janggo, Pagaruyung, sebagai Tuan Gadih, yaitu Ratu yang tiada berdaulat.
Pada masa kejayaan Kerajaan Minangkabau mempunyai wilayah kekuasaan yang batas-batasnya meliputi :
1. Sebelah Timur antara kerajaan Palembang dan Sungai Siak
2. Disebelah Barat antara kerajaan Manjuto di Muko-Muko dan Sungai Singkel
3. Daerah asli kerajaan adalah Luhak Nan Tigo sekarang yaitu; Luhak Tanah Datar,
Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluah Koto.
Raja-raja dari kerajaan inilah yang kemudian memperbesar daerah pengaruhnya dari pantai barat sampai pantai timur,sehingga mencakup kerajaan-kerajaan Indrapura, Indragiri, dan Pucuk Jambi Sembilan Lurah. Raja-raja dari daerah tersebut itu mengakui raja yang berkedudukan di Pagaruyung sebagai “Raja Alam”, yaitu sebagai maharaja di antara mereka. Dengan kata lain dapat dikemukakan, daerah kekuasaan Minangkabau pada masa itu mencakup seluruh daerah Propinsi Sumatera Barat kini, serta sebagian Propinsi Riau serta sebagian lagi Propinsi Jambi. Wilayah kekuasaan itu hampir sama dengan daerah Propinsi Sumatera Tengah pada permulaan kemerdekaan RI.
Adityawarman adalah putra Dara Jingga yang berasal dari keturunan Melayu Minangkabau. Ia dibesarkan dalam lingkungan istana Majapahit yang beragama Hindu. Pada 1340 M, ia diutus oleh Raja Majapahit untuk menaklukkan Minangkabau dan mengusai daerah penghasilan lada karena pasukan-pasukan yang diutus sebelumnyamenemui kegagalan ketika berhadapan dengan Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Mereka bukan kalah dalam pertempuran , melainkan kalah dalam sayembara “Batakok Kayu Tataran Naga” dan “Adu Kerbau”.
Cerita tentang sayembara ini memperlihatkan “kecerdikan” orang Minang saja. Pada waktu pasukan Majapahit dengan kekuatan yang lebih unggul dari kekuatan Datuk Katumanggungan, memasuki wilayah Minangkabau, sang Datuk menjalankan siasatnya. Komandan pasukan Majapahit diajak “beradu pintar” dengan Datuk. Masing-masing disuruh menerka ujung dan pangkal dari sepotong kayu yang dinamakan
“Kayu Tataran Naga”. Kalau sang komandan dan rombongan berhasil menerka maka kekuasaan di Minangkabau bisa dia peroleh.
Ternyata mereka gagal menerkanya. Sebaliknya Datuk Katumanggungan berhasil dengan baik menunjukkan mana pangkal dan mana ujung dari sepotong kayu, yaitu dengan memasukan kayu itu ke air. Bagian pangkal kayu adalah yang lebih dalam terbenamnya dibanding bagian ujungnya, karena ia lebih berat. Rombongan pendatang mengaku kalah dan dengan sukarela kembali ke Majapahit.
Tapi Majapahit belum puas dengan misinya. Pasukan selanjutnya dikirim lagi untuk kali kedua. Kedatangan pasukan ini pun dihadapi dengan siasat lain, yaitu “beradu Kerbau”. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumya, pasukan Majapahit pun kalah .
Ternyata, ”orang Minang memang banyak aka” Dia mau terimpit - asal diatas. Dia mau terkurung - asal di luar. Kalau berjalan bergandeng dua - dia harus ditengah-tengah. Dangakan nan di urang-lakukan nan di awak. “ikolah cadiak pandai namonyo”, “psikhis resah”
Kesudahannya, sekitar pertengahan abad ke 14, Adityawarman datang ke Minangkabau. Karena ibunya berasal dari orang Melayu Minangkabau maka dia bisa diterima. Dan tepat pada tahun 1347 Adityawarman berhasil mendirikan kerajaan Suwarnabbumi di daerah Melayu/Jambi yang kaya dengan penghasilan lada. Sementara itu ia senantiasa memperluas daerah kekuasaannya, hingga akhirnya, ia menguasai seluruh daerah
Minangkabau dan memindahkan pusat kerajaan ke Pagaruyung di tempat yang bernama Bukit Batu Patah.
Lalu ia berusaha untuk melepaskan hubungannya dengan kerajaan Majapahit dan menjadi raja yang berdiri sendiri.
Mengingat latar belakang kehidupan dan pendidikanya di kerajaan Majapahit yang beragama Hindu, Adityawarman sangat terpengaruh dengan sistem pemerintahan yang otokratis dan susunan masyarakat berkasta-kasta. Sedang di Minangkabau didapatinya cara pemerintahan yang demokratis berdasarkan musyawarah serta susunan masyarakat yang tidak mengenal kasta, melainkan berdasarkan prinsip “duduk samo randah, tagak samo tinggi”.
Nagari-nagari di Minangkabau lebih mirip dengan republik-republik kecil yang berdiri sendiri sehingga kekuasaan raja tidak dapat menjangkau urusan dalam masing-masing nagari itu. Hal ini dipandangnya sebagai pengebirian terhadap kekuasaan raja dan menghambat kelancaran jalannya pemerintahan.
Oleh karena itu, Adityawarman mengemukan keinginannya supaya masyarakat di Minagkabau disusun berkasta-kasta seperti yang berlaku dalam masyarakat Hindu, dan agar pemerintahan diatur seperti yang berlaku di Majapahit, yaitu bertingkat-tingkat, sehingga setiap nagari dikuasai penuh oleh raja. Keinginan ini mendapat tantangan , karena masyarakat Minangkabau tidak menyukai hidup berkasta-kasta, dan mereka menjunjung tinggi kehidupan demokrasi, di mana tiap-tiap nagari berhak mengatur dirinya sendiri.
Dengan kebijaksanaan para pemimpin adat, yaitu Datuk Katumanggungan dan datuk Perpatih Nan Sabatang, didapatlah kompromi: Pertama, bahwa pangkat-pangkat adatlah yang diatur bertingkat-tingkat, sehingga di samping Penghulu sebagai kepala suku, diadakan pangkat Manti, Malin dan Dubalang. Sedangkan kehidupan bersuku, berkampung dan bernagari tetap berdasarkan kerakyatan dan musyarawah, serta duduk sama rendah, tegak sama tinggi.
Selain dari ketetapan tersebut di atas, masih ada beberapa ketetapan lainnya yang telah disepakati bersama. Pertama, bahwa Adityawarman hanya diberi kedaulatan di daerah Rantau, yaitu Pasaman, Pesisir Panjang, Kuantan, batanghari, Kampar dan Rokan. Sedang di daerah Luhak Nan Tigo (Agam, Lima Puluh Koto dan Tanah datar ) ia hanyalah sebagai lambang kesatuan saja, sebagai penengah atau pendamai, bila terjadi perselisihan.
Kedua, bahwa sebagai raja, ia tidak ikut dalam kehidupan bersuku karena sebagai penengah ia harus berada di atas semua suku. Ketiga, bahwa raja tidak mempunyai hak ulayat atas tanah karena hak ulayat tersebut merupan hak mutlak bagi setiap nagari dan suku-suku dalam nagari. Dengan demikian, kekuasaan Adityawarman sebagai raja Minangkabau yang bertahta di Pagaruyung tidaklah mutlak, tidak mencakup seluruh daerah kerajaan Minangkabau dan tidak pula dapat menjangkau urusan-urusan dalam tiap-tiap kehidupan.
Sumber: http://wisran.vndv.com/25.pdf
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.
ok...
BalasHapus